AKU PUNYA KAKAK?
AKU
PUNYA KAKAK?
Suasana
rumah kembali sepi namun tak sesepi hati ini, tak ada seorang pun yang
menemaniku. Ibu yang selalu menjadi tempat mencurahkan segala keluh kesah, kini
tiada lagi karena telah berpulang tuk selama-lamanya. Betapa kehilangan ini terasa,
bagaimana tidak sejak perceraiannya dengan ayah dialah yang berjibaku
menafkahiku. Perasaanku hampa, pandanganku kosong. Bagaimana aku menjalani
hidupku kedepannya, sekolahku baru kelas dua SMP. Haruskah aku berhenti
sekolah? Haruskah aku mencari kerja untuk menafkahiku? Atau aku ikut ayahku
yang sudah beberapa tahun menjadi beban adiknya dikarenakan sakit-sakitan dan
tak mampu bekerja lagi.
“Rosa,
carilah kakakmu!” sebuah suara membuyarkan lamunanku. Kupandangi sipemilik
suara yang ternyata Ma Enik tetangga depan rumahnya dan bertanya: “kakak?
Bukankah aku anak tunggal?”
“Sebetulnya
kamu punya kakak seibu”, Ma Enik menjelaskan.
“Ibuku
tak pernah menyebutkan aku punya kakak”, jawab Rosa masih tak mengerti.
“Ayahmu
itu suami ibumu yang kedua, setelah bercerai dengan suaminya yang pertama dan
punya satu anak laki-laki” Jawab Ma Enik sambil pergi meninggalkan Rosa yang
masih tak percaya dengan kebar itu.
Rosa
berpikir, tidak mungkin ibunya punya anak selain dia. Ibunya tak pernah
bercerita kalau sebelum menikah dengan ayahnya pernah menikah dan punya anak.
Tapi kata-kata Ma Enik mengganggu juga pikirannya. Karena penasaran maka malam
harinya setelah tahlilan selesai dia menghampiri bibinya dan bertanya: “Bi
apakah benar saya punya kakak laki-laki yang seibu tapi tidak sebapa?” Bibinya
heran mendengar pertanyaan Rosa, dia pandangi Rosa dalam-dalam.
“Siapa
yang bilang?” tanya Ika bibinya Rosa
“Ma
Enik”, jawab Rosa sambil memandangi wajahnya bibinya. Ika diam, Rosa menunggu
jawaban bibinya dengan tak sabar.
“Bi,
benar engga apa yang dikatakan Ma Enik?” Rosa mendesak bibinya.
“Ya”,
Ika menjawab pendek.
“Kenapa
ibu tak pernah bercerita pada saya, yang lain juga ga ada yang memberi tahu?”
Rosa bertanya dan seolah-olah menyalahkan semua orang. Bibinya kembali diam,
lama sekali. Rosa bertambah penasaran. “Bi dimana kakak aku sekarang?” tanya
nya lagi.
“Engga
tahu”, jawab Bi Ika pendek.
“Kenapa
engga tahu bi, itu kan keponakan bibi juga seperti aku”, Rosa bertambah tidak
sabar.
“Kami
sudah melupaknnya”, jawabnya lagi.
“Kenapa
dia dilupakan?” tanya Rosa, dia tidak mengerti kenapa kakanya dilupakan oleh
keluarganya.
“Karna
dia cacat dan selalu merepotkan ibumu serta saudara-saudaranya, sudah kamu
jangan tanya itu lagi” Jawab Bi Ika menutup percakapan.
Rosa
semakin tak mengerti, ia punya kakak laki-laki tapi ibu dan keluarganya
melupaknnya sampai aku pun tidak pernah diberi tahu. Semalaman dia berpikir,
kalau kakaknya masih ada dimanakah dia berada? Kepada siapa dia harus bertanya?
Karena semua bibi dan pamannya tidak ada yang mau memberitahu.
Keesokan
harinya Rosa teringat ibunya punya seorang sahabat yaitu Bu Komariah, maka ia
memutuskan untuk kerumahnya, kebetulan masih satu kampung dengannya. Setelah
siap pergilah ia ke rumah Bu Komariah yang biasa disapa dengan Bu Kokom. Bu
Kokom senang melihat Rosa main kerumahnya. Dia berharap rasa duka di hati Rosa
segera hilang dan tetap semangat untuk menjalani hidup sampai akhir hayatnya.
“Bu
Kokom maaf saya mau tanya”, ucap Rosa setelah duduk berhadapan dengan Bu Kokom.
“Mau
tanya apa?” Bu Kokom menyahut dengan nada agak heran.
“Betulkah
saya punya kakak seibu?” kata Rosa sambil memandangi wajah Bu Kokom. Rosa yakin
Bu Kokom akan memberikan informasi yang sebenarnya. Bu Kokom memandangi Rosa
seolah ingin mendalami perasaan Rosa.
“Dari
siapa kamu mendengar bahwa kamu punya kakak laki-laki seibu?” Bu Kokom balik
bertanya.
“Kata
Ma Enik dan Bi Ika”, jawab Rosa. Bu Kokom menarik nafas panjang, pandangannya
menerawang jauh seolah sedang melakukan kilas balik tentang kehidupan 30 tahun
yang lalu.
“Bu,
betul engga?” Rosa kembali bertanya.
“Rosa,
betul kamu punya laki-laki seibu”, Bu Kokom menjawab dengan lirih.
“Dimana
dia sekarang, kenapa Bi Ika bilang keluarga sudah melupakannya?” air mata mulai
menggenang di pelupuk mata Rosa.
“Dia
ada, sehat, hidup aman dan nyaman”, Bu Kokom menenangkan Rosa.
“Di
mana? Kenapa aku tak pernah diberitahu siapapun? Dan kenapa ibu melupakannya?
Apa karena dia cacat?” Rosa memberondongkan pertanyaan pada Bu Kokom.
“Setelah
ibumu bercerai dengan suaminya yang pertama, kakakmu dibawa oleh ayahnya dan
diurus oleh nenek dari ayahnya” Bu Nur menjelaskan.
“Apa
benar dia cacat?” Rosa bertanya lagi
“Ya,
iya tak bisa jalan sejak lahir, segala sesuatunya bergantung kepada orang lain”
Bu Kokom menjelaskan lagi.
“Terus
sekarang dia ada dimana?” Rosa menyelidik.
“Untuk
apa kamu menanyakan dia berada dimana?” tanya Bu Kokom agak heran.
“Saya
ingin bertemu”, jawab Rosa
“Kalau
begitu keinginanmu saya akan menelpon ayahnya”, Jawab Bu Kokom.
Bu
Kokom segera mengambil ponselnya dan menelepon seseorang. Setelah selesai
percakapannya dengan yang dihubunginya, Bu Kokom menjelaskan bahwa mereka boleh
menemui “Yusuf” yaitu kakaknya Rosa pada hari Minggu pagi jam 8 agar istri dari
ayahnya Yusuf atau ibu tirinya Yusuf ada di rumah. Dan Bu Kokom menjelaskan
bahwa setelah delapan tahun ayahnya Yusuf bercerai dia menikah dengan seorang
gadis priangan yang bekerja di suatu lembaga. Dan tiga hari setelah menikah,
Yusuf langsung diurus oleh ayahnya dan ibu tirinya.
Rosa
membayangkan, kakaknya diurus ibu tiri. Ia sering mendengar cerita dari
sinetron atau orang-orang, ibu tiri itu sangat kejam. “Kasihan sekali Yusuf,
pasti ia menderta” fikir Rosa.
Hari
Minggu yang dijanjikan pergilah Rosa dan Bu Kokom ke rumah Pak Gani, ayahnya
Yusuf. Tidak lama, 30 menit sudah sampai. Sebuah rumah yang belum selesai,
jangankan dicat, diplester (tembok halus dari semen pun belum), atap bagian
luarnya masih kelihatan genteng beserta usuk bambunya. Pagar dari bambu yang
kelihan sudah mulai agak lapuk. Bagaimana Yusuf nyaman tinggal di rumah ini,
luarnya saja begini apalagi dalamnya, gumam Rosa.
Berkali-kali
Bu Kokom mengucapkan salam tapi tidak ada yang menjawab. Terdengar suara dari
Televisi dari ruangan rumah sebelah kiri. Bu Kokom dan Rosa pun menuju ke sumber
suara. Terlihat pintunya terbuka sedikit. Dari pintu tersebut Rosa bisa melihat
ada ruangan tidur dengan sebuah risbang ukuran 1,5m x 2m, kamar mandi dengan
penataan khusus yaitu pada dindingnya dipasang besi berdiameter 2cm sepertinya
sebagai pegangan, dan dua buah keran air. Di depan kamar ada sebuah ruangan
dengan ukuran 2,5m x 3,5m. Diruangan tersebut terdapat sebuah meja yang
diatasnya terletak sebuah televisi 17Inch. Ternyata dugaan Rosa meleset karena
keadaan di dalam rumah sangat resik, apik, dan teduh.
Rosa
terpana melihat sosok seorang laki-laki sedang duduk sila, kulitnya putih,
tinggi badannya kira-kira 160cm sedang menonton televisi. Roman wajahnya begitu
teduh dan tenang, senyumnya menghias bibir tipisnya menggambarkan betapa
bahagianya dia. Bu Kokom memperhatikan tingkah laku Rosa. “Itulah Yusuf
kakakmu”, bu Kokom menjelaskan. Rosa tersentak kaget.
“Betulkah
itu Yusuf kakak ku?” Rosa tak percaya.
“Iya,
itu Yusuf”, Bu Kokom menjelaskan.
“Bukannya
Yusuf cacat?, dia tidak tampak cacat sedikitpun?” Rosa bertanya keheranan.
“Ya,
Yusuf beruntung. Dia dilupakan oleh ibu dan saudara-saudaranya, tapi dia
mendapat ibu tiri yang baik”, jawab Bu Kokom.
“Bukannya
ibu tiri itu jahat?” Rosa menyanggah.
“Ibu
juga awalnya mengira begitu, tapi Yusuf diperlakukan dengan baik oleh ibu
tirinya, dia dilatih untuk bisa berdiri sendiri, mandi sendiri, makan sendiri,
pakai baju sendiri bahkan dia dilatih berbicara”, Bu Kokom menjelaskan. Bu
Kokom mengetahui hal itu semua karena sebenarnya selama 30 tahun ini dia selalu
memantau perkembangan Yusuf.
“Kakakku
engkau beruntung, berada di keluarga yang sangat menyayangimu”. Gumam Rosa. “Ah
aku belum tentu bisa hidup nyaman sepertimu, karena aku harus bekerja keras
untuk menghidupiku sendiri. Peninggalan ibu hanyalah sebuah rumah ukuran 9m x
3m yang entah bisa ku pertahankan atau ku jual untuk mencukupi kebutuhan ku
sehari-hari sampai kelak ada yang menikahiku. Tak terasa air mata berlinang
membasahi pipi Rosa, Bu Kokom membiarkan Rosa meluapkan perasaannya.
“Bu,
mau ke Pak Gani?” terdengar suara seorang ibu menyapa kami.
“Iya
bu”, jawab Bu Kokom, “tapi sepertinya tidak ada” lanjutnya lagi.
“Pak
Gani beserta istri dan anaknya yang bungsu baru saja keluar, padahal biasanya
mereka keluar pukul 8 pagi” tetangga Pak Gani ,enjelaskan.
“Iya
gak apa-apa bu, memang salah kami, janji jam 8 pagi mau kesini” Bu Kokom
mengaku bersalah, karena saat itu pukul 11 siang, jadi wajar kalau Pak gani
tidak ada di Rumah.
“Kami
permisi bu” kata Bu Kokom pamitan. Iya bu silahkan nanti saya sampaikan pada
Pak Gani kalau ada tamu.
Bu
Kokom dan Rosa pun beranjak dari Rumah Pak Gani. Bu Kokom menasehati Rosa agar
tidak usah risau dengan keadaan Yusuf, karena Yusuf hidup tenang tidak
kekurangan satu apapun. Dia begitu bahagia seperti yang dilihat mereka tadi.
Rosa pun merasa lega karena telah menemukan kakaknya.
Komentar
Posting Komentar